Syahru Ramadhan 1435 Hijriyyah
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang
telah diberikan, bahwa. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan
kesempatan kepada kita untuk merasakan sejuknya beribadah puasa.
Sungguh suatu kebahagian karena kita bisa melaksanakan ibadah
yang mulia inidi Bulan Ramadhan. Janji yang pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia
menjalankan puasa dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya
telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan
mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR.
Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
Sungguh sangat menyayangkan sekali orang yang meninggalkan
amalan yang mulia ini. Begitu sering kami melihat orang yang mengaku muslim
namun di siang hari bulan Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia
mengganggu saudaranya dengan asap rokok.
Sungguh sangat merugi sekali orang yang meninggalkan ibadah
di Bulan Puasa ini, padahal amalan ini adalah bagian dari rukun Islam yang dapat menegakkan
bangunan Islam dan para ulama sepakat tentang wajibnya melaksanakan rukun Islam
yang satu ini.
Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih
perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat
maut. Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai beberapa
amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah menunaikan puasa
Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Semangat dalam Menjalankan Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah :
Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan
lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat
lima waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan amalan
shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu
neraka ketika itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka
ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)
Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu
saja. Kalau memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu maka
hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu pula dengan
shalat jama’ah di masjid khusus untuk kaum pria.
Lihatlah salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima
waktu berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ
صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِى عَهْدًا أَنَّهُ
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ
أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ
عَلَيْهِنَّ
فَلاَ عَهْدَ لَهُ
عِنْدِى
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu
shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya
pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak
menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no.
1403. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa
hadits ini hasan)
Shalat jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat
mulia dibanding shalat sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
صَلاَةُ
الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ
الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak
27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)
Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering
dilalaikan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1
Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan shalat karena sibuk
silaturahmi atau berekreasi.
Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita
karena kebiasaan bangun kesiangan, dia meninggalkan shalat shubuh begitu saja.
Padahal shalat shubuh inilah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ
صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ
الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ
مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan oleh orang
munafik kecuali shalat Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka mengetahui
keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun sambil
merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)
Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkan shalat. Dari Tsauban
radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ
العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ
أَشْرَكَ
“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan
adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah melakukan
kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan
hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ
الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ
كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah
shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat
Misykatul Mashobih no. 574)
Begitu pula shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap
muslim –khususnya kaum pria- menjaga amalan ini. Shalat jama’ah mungkin
kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir,
masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang dalam masalah apakah
shalat jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi perselisihan di antara
para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat, shalat jama’ah hukumnya adalah
wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits
dari Abu Hurairah di mana beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ
لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى
إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- أَنْ
يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى
بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى
دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ
بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ
« فَأَجِبْ
».
“Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki
orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria ini meminta pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan untuk shalat di rumah.
Pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dia keringanan.
Namun,
tatkala dia mau berpaling, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pria
tersebut dan berkata, ‘Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta
tersebut menjawab, ‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Penuhilah panggilan tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)
Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak
jama’ah di masjid, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya
keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat jama’ah di masjid. Padahal dia
adalah pria yang buta, tidak ada penuntun yang menemaninya, rumahnya juga jauh.
Di Madinah juga banyak hewan buas dan banyak pepohonan yang menghalangi jalan
menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun dengan berbagai udzur ini karena pria
buta ini mendengar adzan, dia tetap wajib jama’ah di masjid.
Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan?
Tentu lebih wajib lagi untuk berjama’ah di masjid. Itulah dalil kuat yang
menunjukkan wajibnya shalat jama’ah di masjid. Jika seseorang meninggalkan
shalat jama’ah dan shalat sendirian, dia berarti telah berdosa karena
meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang dia lakukan tetap sah.
Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan kaum muslimin tidak wajib bagi
mereka jama’ah di masjid bahkan lebih utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat
lima waktu di rumahnya.
Memperbanyak Puasa Sunnah :
Selain kita melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan, hendaklah kita menyempurnakannya pula dengan
melakukan amalan puasa sunnah. Di antara keutamaannya adalah disebutkan dalam
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ
الصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Maukah kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa
adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan dalam
Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud bahwa hadits ini shohih)
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim
baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari
perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api
neraka. Keutaman lain dari puasa sunah terdapat dalam hadits Qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ
إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ،
فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى
يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ
الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ
الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى
يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ
سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى
لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya,
maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk
mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi
petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu
kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku
akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Itulah di antara keutamaan seseorang melakukan amalan
sunnah. Dia akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk
pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan
orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil
Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)
Banyak puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim
setelah Ramadhan. Di bulan Syawal, kita dapat menunaikan puasa enam hari
Syawal. Juga setiap bulan Hijriyah kita dapat berpuasa tiga hari dan lebih
utama jika dilakukan pada ayyamul bid yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15. Kita
juga dapat melakukan puasa Senin-Kamis, puasa Arofah (pada tanggal 9 Dzulhijah),
puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan banyak berpuasa di bulan Sya’ban
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika
ada yang punya kemampuan boleh juga melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa
dan sehari tidak. Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan puasa sunnah
ini.
Puasa Sunah Enam Hari di Bulan Syawal :
Hendaklah di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha untuk
menunaikan amalan yang satu ini yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal. Puasa
ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ
أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam
hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no.
1164)
Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya
puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab
Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. (Lihat Syarh
An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)
Bagaimana cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam Syarh
Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling
afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah
shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir
Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah
sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.”
Manfaat melakukan puasa Sunah enam hari di bulan Syawal?
Ibnu Rojab rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya:
- Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.
- Puasa Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya shalat rawatib qobliyah dan ba’diyah. Amalan sunnah seperti ini akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti akan menyempurnakannya.
- Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta’ala jika menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi taufik pada amalan sholih selanjutnya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”
- Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang telah lalu, maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, 244, Asy Syamilah)
- Sungguh sangat beruntung sekali jika kita dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Ini sungguh keutamaan yang luar biasa, saudaraku. Marilah kita melaksanakan puasa tersebut demi mengharapkan rahmat dan ampunan Allah.
- Penjelasan penting yang harus diperhatikan: Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
- Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)